MAZHAB-MAZHAB ILMU PENGETAHUAN HUKUM
THEORY OF LAW
Mengapa orang mentaati hukum Tanpa memperhatikan adanya sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum, timbul pertanyaan-pertanyaan: “Dari manakah asal Hukum itu, mengapa Hukum ditaati orang dan mengapa kita harus tunduk pada Hukum itu ?” Persoalan ketaatan terhadap Hukum telah menimbulkan berbagai teori dan aliran pendapat atau mazhab-mazhab dalam Ilmu Pengetahuan Hukum.
1. Mazhab Hukum Alam
Adapun teori tentang Hukum Alam telah ada sejak zaman dahulu yang antara lain diajarkan oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahwa ada dua macam Hukum, yaitu
a. Hukum yang berlaku karena penetapan penguasa Negara b. Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia tentang baik-buruknya, hukum yang “asli”. Menurut Aristoteles, pendapat orang tentang “Keaslian” adalah tidak sama, sehingga seakan-akan tidak ada Hukum Alam yang “asli”. Namun haruslah diakui, bahwa keaslian sesuatu benda atau hal tidaklah tergantung pada waktu dan tempat; Kekecualian dalam sesuatu hal tentulah ada. Bukanlah syarat mutlak bahwa Hukum Alam itu berlaku di zaman apa saja dan dimana-mana, tetapi lazimnya yaitu dalam keadaan biasa, hukum alam itu memang didapati di mana saja dan di zaman apa saja, berhubungan dengan sifat keasliannya yang memang selaras dengan kodrat alam. Prof. Subekti, S.H. mengatakan, bahwa menurut kodrat alam misalnya tangan kanan adalah lebih kuat dari tangan kiri, tetapi ada juga orang yang tangan kirinya lebih kuat dari tangan kanannya. Berhubungan dengan itu menurut Aristoteles, Hukum Alam itu ialah “Hukum yang oleh orang-orang yang berfikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam”. Thomas van Aquino (1225-1274) berpendapat, bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu “Undang-undang abadi” (“lex eterna”) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. Lex Eterna ini ialah kehendak dan pikiran Tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia di karuniai Tuhan dengan kemampuan berfikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal serta mengenal berbagai peraturan perundangan yang langsung berasal dari “Undang-undang abadi” itu, dan yang oleh Thomas van Aquino dinamakan “Hukum Alam” (“Lex naturalis”). Hukum Alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya: a. Berbuat baik dan jauhilah kejahatan b. Bertindaklah menurut fikiran yang sehat c. Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Menurut Thomas van Aquino, asas-asas pokok tersebut mempunyai kekuatan yang mutlak, tidak mengenal kekecualian, berlaku dimana-mana dan tetap tidak berubah sepanjang zaman. Hugo de Groot (abad ke-17), seorang penganjur Hukum Alam dalam bukunya “De jure belli ac pacis” (Tentang Hukum Perang dan Damai) berpendapat, bahwa sumber Hukum Alam ialah fikiran atau akal manusia. Hukum Alam, menurut Hugo de Groot, ialah pertimbangan fikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Hukum Alam itu merupakan suatu pernyataan fikiran (akal) manusia yang sehat mengenai persoalan apakah suatu perbuatan sesuai dengan kodrat manusia, dan karena itu apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak.
2. Mazhab Sejarah Sebagai reaksi terhadap para pemuja Hukum Alam
di Eropah timbul suatu aliran baru yang dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) yang terkenal dengan bukunya “Vom Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (1814). Von Savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani sesuatu Bangsa; selalu ada suatu hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu Bangsa. Hukum itu menurut von Savigny, bukanlah disusun atau diciptakan oleh orang, tetapi hukum itu tumbuh sendiri di tengah-tengah rakyat. Hukum itu adalah penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu Bangsa kehilangan kepribadiannya. Menurut pendapat tersebut, jelaslah bahwa hukum itu merupakan suatu rangkaian kesatuan dan tak terpisahkan dari sejarah suatu Bangsa, dan karena itu hukum itu senantiasa berubah-ubah menurut tempat dan waktu Jelaslah pula, bahwa pendapat von Savigny ini bertentangan dengan mazhab Hukum Alam, yang berpendapat bahwa hukum alam itu berlaku abadi di mana-mana bagi seluruh manusia. Aliran yang menghubungkan Hukum dan Sejarah suatu Bangsa dinamakan “Mazhab Sejarah”. Mazhab Sejarah itu menimbulkan ilmu pengetahuan hukum positif. Hukum Positif atau Ius Constitutum (oleh Prof. Sudiman Kartohadiprodjo. S.H. disebut Tata Hukum) menurut Dr. W.L.G. Lemaire ialah “Het hier en nu geldend recht”, yaitu Hukum yang berlaku di daerah (Negara) tertentu pada suatu waktu tertentu.
3. Teori Teokrasi Teori tentang Hukum Alam
yang telah dijelaskan di atas merupakan bagian dari Filsafat Hukum, yang bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan: “Dari manakah asalnya hukum dan mengapa kita harus tunduk pada hukum ?”. Pada masa lampau di Eropa para ahli fikir (Filosof) menganggap dan mengajarkan, bahwa Hukum itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan oleh karena itulah maka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada Hukum. Perintah-perintah yang datang dari Tuhan itu dituliskan dalam Kitab Suci. Tinjauan mengenai Hukum dikaitkan dengan Kepercayaan dan Agama, dan ajaran tentang legitimasi kekuasaan hukum didasarkan atas Kepercayaan dan Agama. Adapun teori-teori yang mendasarkan berlakunya Hukum atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa dinamakan Teori Ketuhanan (Teori Teokrasi). Berhubungan peraturan-peraturan itu ditetapkan Penguasa Negara, maka oleh penganjur Teori Teokrasi diajarkan, bahwa para penguasa Negara itu mendapat kuasa dari Tuhan; seolah-olah para Raja dan penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan. Teori Teokrasi ini di Eropah Barat diterima umum hingga Zaman Renaissance.
4. Teori Kedaulatan Rakyat Pada zaman Renaissance,
timbul teori yang mengajarkan, bahwa dasar hukum itu ialah “akal” atau “rasio” manusia (aliran Rasionalisme). Menurut aliran Rasionalisme ini, bahwa Raja dan penguasa Negara lainnya memperoleh kekuasaannya itu bukanlah dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya. Pada abad pertengahan diajarkan, bahwa kekuasaan Raja itu berasal dari suatu perjanjian antara Raja dengan rakyatnya yang menaklukkan dirinya kepada Raja itu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian itu. Kemudian setelah itu dalam Abad ke-18 Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu Negara ialah “perjanjian masyarakat” (“Contrat Social”) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu Negara. Adapun teori Rousseau tersebut dikemukakannya dalam buku karangannya yang berjudul “Le contrat social” (1762). Teori Rousseau yang menjadi dasar faham “Kedaulatan Rakyat” mengajarkan, bahwa Negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundangan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut. Demikian menurut aliran ini, bahwa Hukum itu adalah kemauan orang seluruhnya yang telah mereka serahkan kepada suatu organisasi (yaitu Negara) yang telah terlebih dahulu mereka bentuk dan diberi tugas membentuk Hukum yang berlaku dalam masyarakat. Orang mentaati Hukum, karena orang sudah berjanji mentaatinya. Teori ini dapat juga disebut Teori Perjanjian Masyarakat.
5. Teori Kedaulatan Negara Pada abad ke-19,
Teori Perjanjian Masyarakat ini ditentang oleh Teori yang mengatakan, bahwa kekuasaan Hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh anggota masyarakat. Hukum itu ditaati ialah karena Negaralah yang menghendakinya; Hukum adalah kehendak Negara dan Negara itu mempunyai kekuatan (power) yang tidak terbatas. Teori ini dinamakan Teori Kedaulatan Negara, yang timbul pada abad memuncaknya ilmu-ilmu pengetahuan alam. Penganjur Teori Kedaulatan Negara, yaitu Hans Kelsen dalam buku “Reine Rechtslehre” mengatakan, bahwa Hukum itu ialah tidak lain daripada “kemauan Negara” (Wille des Staates). Namun demikian, Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena Negara menghendakinya, tetapi orang taat pada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah Negara.
6. Teori Kedaulatan Hukum Prof. Mr H. Krabbe
Prof krabbe dari Universitas Leiden menentang Teori Kedaulatan Negara ini. Dalam bukunya yang berjudul “Die lehre der Rechtssouveranitet” (1906), beliau mengajarkan, bahwa sumber Hukum ialah “rasa keadilan”. Menurut Krabbe, Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak yang ditundukkan padanya. Suatu peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat. Peraturan perundangan yang demikian bukanlah “hukum”, walaupun ia masih ditaati ataupun dipaksakan. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaedah yang timbul dari perasaan hukum anggota sesuatu masyarakat, mempunyai kewibawaan/kekuasaan. Teori yang timbul pada abad ke-20 ini dinamakan Teori Kedaulatan Hukum.
7. Asas Keseimbangan Prof. Mr R. Kranenburg
murid dari dan pengganti Prof. Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Kranenburg membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu menjadi sumber hukum. Menurut Kranenburg, Hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata (riil). Dalil yang nyata yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: Tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu. Pembagian keuntungan dan kerugian dalam hal tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, ialah bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat dan sama. Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan Asas Keseimbangan, berlaku dimana-mana dan pada waktu apapun.
No comments:
Post a Comment